Jumat, 20 April 2012

DARI SANG KEKASIH

Apakah karena Mengingat Para kekasih di Dzi Salam.
Kau campurkan air mata di pipimu dengan darah.
Ataukah karena angin berhembus dari arah Kazhimah.
Dan kilat berkilau di lembah Idlam dalam gulita malam.

Mengapa bila kau tahan air matamu ia tetap basah.
Mengapa bila kau sadarkan hatimu ia tetap gelisah.
Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya.
Diantara air mata yang mengucur dan hati yang bergelora.

Jika bukan karena cinta takkan kautangisi puing rumahnya.
Takkan kau bergadang untuk ingat pohon Ban dan ‘Alam.
Dapatkah kau pungkiri cinta, sedang air mata dan derita.
Telah bersaksi atas cintamu dengan jujur tanpa dusta.
Kesedihanmu timbulkan dua garis tangis dan kurus lemah.
Bagaikan bunga kuning di kedua pipi dan mawar merah.
Memang terlintas dirinya dalam mimpi hingga kuterjaga.
Tak hentinya cinta merindangi kenikmatan dengan derita.
Maafku untukmu wahai para pencaci gelora cintaku.
Seandainya kau bersikap adil takkan kau cela aku.
Kini kau tahu keadaanku, pendusta pun tahu rahasiaku.
Padahal tidakjuga kunjung sembuh penyakitku.
Begitu tulus nasihatmu tapi tak kudengar semuanya.
Karena untuk para pencaci, sang pecinta tuli telinganya.
Aku kira ubanku pun turut mencelaku.
Padahal ubanku pastilah tulus memperingatkanku.

UNTUK YANG TERAKHIR KALI

Terbujur kaku,
Terlihat kerut dikeningmu,
Seakan kau tak rela penuhi panggilan-Nya.
Namun itu bukan kuasamu.

Hanya air mata . .
Ketika sesosok tubuh indah kurangkul . .
Ia yang kusucikan dengan tetesan air mata.
Embun indah itu telah terlelap dihadapku.

Apakah ini benar terjadi ? ?
Aku tak berkata,
Hanya memandang raut indah yang dulu setia tersenyum untukku.

Bunda . .
Kutaburkan bunga bunga Kesukaanmu,
Kusirami tanah tempat bidadariku terlelap.
Hening memecah,
Ketika tangis tak kuasa mengalir . .
Menatap apa yang ada dihadapku.

Maafkan anakmu ini . .
Yang tak sempat hadir di akhirmu . .
Yang kurang berbakti diharimu . .
Lihatlah aku menatapmu disini,
Dengarlah hati pedih ini . .
Tak satu hurufpun terlupa apa yang engkau kata.

Bunda . .
Tersenyumlah dalam lelapmu,
Kecup indahku takkan lelah menyapamu . .
Dalam doa menyentuh Jiwa indahmu . .
Dalam doa kuraih rindu akan senyummu . .

WAYAH ESUK PEDUT ANGENDANU

rong puluh tahun kepungkur aku lan sliramu nate mlaku ana dalan kene
saklawase ora nate ketemu
saliramu lan saliraku wus beda ora kaya biyen nalika isih tak kanthi
gandaning wengi mau isih sumrebak ngebaki pedut wayah esuk

wus aja mbok tangisi lakon kang wus kapungkur
wus pirang wayah ketiga tak lakoni nganti rambut warna ireng lan putih
ing dalan iki rong puluh tahun kepungkur
ana cerita rinajut endah

dik, kala kala sliramu isih dadi impenku
pirsanana ana nduwur kae
ana teja manther ing sela-selaning gegodongan
lan lintang panjer wengi sing isih kari sakmenir gedhene

saiki aku lan sliramu linambaran rasa kangen
simpenen kangenmu ana impen
------------------------------------

surat dari majnun untuk laila

Aku awali surat ini dengan nama sang Raja yang memberikan kehidupan kepada jiwa dan pertolongan kepada hati. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan kebijaksanaan-Nya adalah mutlak: Dia melihat dan mendengar segala sesuatu - bahkan do'a makhluk-makhluk yang tak dapat berbicara sekalipun. Dialah yang membagi dunia ini terang dan gelap: Dialah yang memberikan kepada seluruh makhluk sebuah waktu yang telah ditentukan diatas bumi, dari burung di udara sampai kepada ikan di kedalaman samudera. Dia telah menghiasi langit dengan bintang-bintang dan mengisi bumi dengan umat manusia dari beragam suku dan warna. Dia telah memberikan tiap laki-laki dan perempuan sebuah jiwa, dan Dia telah menyinari setiap jiwa dengan obor akal pikiran, sehingga seluruh hamba-Nya dapat meraih keselamatan.

Ini adalah sehelai kertas kesedihan, yang dikirim oleh sebuah jiwa yang dipenuhi oleh duka cita kepada jiwa yang lainnya. Ia datang dariku, seorang tawanan, dan ditujukan kepadamu, kau yang telah berhasil menghancurkan belenggumu dan meraih kemerdekaan. Sudah berapa lamakah, kasihku, aku mengikatkan tali cintaku padamu? Berapa banyak hari-hari tanpa makna, berapa banyak malam yang dipenuhi oleh air mata telah berlalu sejak saat itu?

"Apa kabarmu, duhai belahan jiwa, dan bagaimana kau melewati hari-harimu? Kemanakah ketujuh buah planet, penuntun di langit, telah membawamu? Aku tahu bahwa kau masih berdiri menjaga harta persahabatan kita, dan aku rasakan di dalam hatiku bahwa cinta memperoleh keagungannya semata-mata darimu. Aku tahu bahwa darahmulah yang memerahkan bumi saat matahari terbit dan saat matahari terbenam, namun kau tinggal jauh di dalam perut gunung bagaikan intan yang terperangkap di dalam bebatuan. Dalam kegelapan yang kelam kau adalah mata air Khizr, sumber air kehidupan. Kau adalah ngengat yang mengitari nyala api keabadian; kau telah mengaduk-aduk samudera eksistensi dunia, namun kau memunggungi badainya dan bersembunyi di dalam pusara kesepianmu sendiri, dengan beberapa hewan sebagai kawan.. Semua lidah menggunjingkanmu, melesatkan anak panah celaan ke arah hatimu, tapi apa artinya itu bagimu? Kau telah memalingkan penglihatanmu kepada keabadian; bahkan sekarang, kafilahmu sedang dalam perjalanan menuju hari akhir.

Aku tahu berapa besar kau telah berkorban; aku tahu bahwa kaulah yang telah membakar habis ladang jagungmu sendiri, membakar hasil panenmu sendiri. Kau persembahkan hatimu padaku dan menempatkan jiwamu di tanganku, dan karena itu menjadi sasaran cercaan dan fitnah. Tapi itu hanyalah sebuah akibat yang kecil; tidak ada seorang pun dari kita yang peduli apa yang orang lain pikir atau katakan. Apa pun yang mereka lemparkan kepada kita, kita akan menghadapinya bersama: setidaknya aku dapat bergantung pada kesetiaanmu, dan kau pada kesetiaanku. Tapi seandainya saja aku mengetahui apa yang kau pikirkan, apa yang kau rasakan! Andai saja aku dapat melihat dirimu dan apa yang sedang kau kerjakan! Dengan seluruh cinta dan seluruh hatiku aku bersamamu, tapi bagaimana dengan engkau? Dengan siapa kau menghabiskan waktumu? Memang, aku terpisahkan darimu dalam tubuh, tapi dalam ruh kita adalah satu.

Aku telah melakukan segalanya untuk ikut memikul kesedihanmu, segalanya kecuali ini: aku tidak datang sendiri padamu, karena itu adalah mustahil. Tapi apa artinya itu? Seperti kataku, kita terpisah dalam tubuh tapi ruh kita satu: jiwaku selalu bersamamu sepanjang waktu. Aku tahu seberapa besar kau menderita dan betapa hatimu yang lembut tergerogoti oleh duka, namun hanya ada satu jalan keluar dari kesengsaraan ini untuk kita berdua: kesabaran dan ketabahan.

Ya cintaku: kesabaran, ketabahan, dan harapan. Apalah hidup itu? Ia tidak lain dari sebuah hikayat dan sebuah tangisan, tempat persinggahan yang singkat di perkemahan sementara kehidupan yang berakhir sama cepatnya dengan saat dimulainya: mereka yang telah sampai, hampir tidak punya waktu untuk membongkar kantungnya karena mereka harus berangkat kembali! Mereka berkata bahwa mata adalah jendela menuju jiwa, dan itu benar. Tapi seorang yang bijak tidak akan membiarkan orang lain melihat kedalam jendela itu, cintaku! Apakah kau ingin sang musuh tertawa melihat air mata kita, mengejek kita dalam kesengsaraan kita? Tidak akan pernah! Seorang yang bijak harus menyembunyikan kesedihannya agar orang lain tidak bergembira diatasnya, seperti ulat yang bergembira di atas sehelai daun.

Jangan mengingat benih yang telah ditaburkan: pikirkan hanya apa yang akan tumbuh dari mereka. Hari ini jalanmu mungkin terhalang oleh duri dan bebatuan, tapi esok kau akan memanen buah ara dan kurma yang melimpah! Dimana ada kuncup yang tertutup hari ini, esok akan ada sekuntum mawar. Jangan lupakan itu!

Dan jangan bersedih! Jangan biarkan hatimu mencucurkan air mata darah, dan jangan berpikir bahwa kau sendirian dan tidak memiliki teman di dunia ini. Apakah aku bukan temanmu? Apakah kenyataan bahwa aku ada disini untukmu tidak meringankanmu? Janganlah kau, duhai cintaku, mengeluh bahwa kau sendirian. Ingatlah Dia yang menciptakanmu; ingatlah bahwa Tuhan adalah teman bagi mereka yang tidak memiliki teman.

legenda cinta laila majnun

Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”

Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba
waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.


Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”

Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.

Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.

Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.

Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.

Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali
detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.


Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila,
maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.


Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama
lain, sungguh ia salah besar.


Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.


terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”


Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya.
Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”


Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun
diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.


Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.

Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah
dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.


Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.


Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar denganrambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.


Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada
Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.


Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.

Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.


Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas
kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.


Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.

Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam
perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.


Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Ketika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.



Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu.


Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

 Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.


Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.


ahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.


Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.

Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam. 


Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.


Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum
anggur Cinta-Ku?”


Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”                           
                     

legenda penya'ir berdarah

Aku datang dari balik kabut merah
Terbang melintasi samudra darah
akan ku pecah rembulan malam
akan ku buat seisi alam menjadi kelam
akulah pangeran kegelapan
Kidung pamungkas ....


wahai betara...

Sdh sulit ku bedakan hidup dan siksa....
Setiap nafas dan langkah ku raja derita......

Oh betara....
Buka matamu dan saksikan derita ku....
Telah kau kalahkan aku dengan tangan perkasamu....
Oh betara....
Kini mimpi-mimpiku pun hitam gelap...........
Segelap bola mata ku............
Letih sudah kaki menyelusuri lembah.......
Tapi.......
Perjalanan tidak kunjung usai.......
Tidak terperih luka.......
Carut marut oleh onak duri
Oh........
Perih luka ternyata jauh lebih perih jiwa.......
Gemulung halimun menutup jalan semua jalan........
Tapi aku tetap ingin pulang..........
Dewa..............
Kembalikan masa bocahku kedalam jiwa............
Jangan peluk akhir perjalananku........
Aku masih punyak rindu...........
Yang belum pupus............
Jemariku belum lagi menyentuh bayang-bayang mimpi ku
Jagat dewa batara.........
Sejuta kutuk pasu ku tadah dengan dada terbuka........
Tapi belum juga kau satukan aku dengan anak-anakku..........
Oh...............
Hanya rindu yang meratapi dosa-dosa........
Busuk.............
Satu-satu ...........
Orok dosaku mengering sudah............
Satu-satu ...........
Bayangan masa datang terasa benderang.......

serat jaya baya

Padhang bln wis mangklung ing pingitan,
doro muluk ka pulu,kang kumleyang godhong gadhun,jaler estri wus dumadi ono poros,yen siro lolos iki biso gawe jagad peteng,mulo ingsun enggal tumurun ono putu ku kang kaping-XIII awit titi mongso nusantoro adil makmur kanti sinuyudan sudarsono adedasar poncosilo kang wus manjing diri pribadhine manungso nusantoro.
(JYBY)
HONG WILAHENG SABDO JATI TUHU MANIK MUSTIKANE JAGAD SUN PEPUJI ONO ING AGARSANE GUSTI KANG MOHO AGUNG.NUR CAHYO LUMEBU ONO ING JAGAD INGSUN RUMESEP ANGGOWO PEPADHANG SARTO GAMBLANG ING BUWONO SET-SINGSET RUMESEP ONO ING JAGAD INGSUN.
(JYBY )

asarining manungso

*Asarinin manungsa*
soko bumi,rupane ireng,kadadyane wujud kito,hakekate dzatiro,iku dadining kulit,daging,pujine wa ashadu anna muhammad rosullullah
soko geni,iku rupane kuning,kadadyne nurkito sifatiro iku dadine otot balung,pujine wa ashaduallaa ilaaha illallah
soko angin,rupane ijo,kddyne ilmu kiro,af'aliro iku dadining panguwasa,pujine laa syariikalah laa ilaaha ilahana
soko banyu,iku rupane putih kddyne suhud kito,hakekate asmanira ,iku dadining getih lan sum",pujine sahitna 'alaa ilaa illahuwa.

Ati sanubari : iku wisesaning rasa,rupane ireng,plawangane kaharullah,dununge 'alam sulpil,pujine*allahu allahu,iku smpurnaning pangucp.
Ati maknawi,iku purbaning rasa,rupane kuning plawangane kamahu'llah dununge 'alam sulbi,pujine*allah allah.iku smpurnaning pamiryasa
ati siri iku smpurnaning rasa,rupane ijo,plawangane jalahu'llah,dununge 'alam topek,pujine*hu hu hu iku smprnaning pngambu
ati PuAT iku sirnaning rasa rupane putih ,plawangane jamalu'llah,dununge 'alam sabit ,pujine*analkaka analkaka ,iku smpurnaning paninggal

B1000CK

B1000CK
DCLXVI